Cerita 8: "Aku dan Banteng Gendut Itu"
Dika meloncat-loncat kegirangan saat ayahnya mengajaknya ke alun-alun. “Katanya malam ini ada bantengan!” katanya dengan mata berbinar. Ia pikir benar-benar akan ada banteng sungguhan seperti di kebun binatang.
Saat pertunjukan dimulai, Dika duduk di pangkuan ayahnya. Musiknya keras—gedebum, gedebak—membuat dadanya ikut bergetar. Lalu, muncul sesosok besar berbulu hitam, bertanduk, dengan mata merah. “Itu bantengnya!” jerit Dika sambil menunjuk. Tapi alih-alih takut, Dika malah tertawa.
Banteng itu menari-nari seperti orang lucu. Ia jungkir balik, lalu bergoyang pinggul ke arah penonton. Anak-anak lain menjerit atau sembunyi di balik orang tuanya. Tapi Dika malah turun dan berdiri, menirukan gerakannya. Ia maju ke depan, mengeong seperti kucing, lalu menggelinding di tanah.
Penonton tertawa geli. Seorang pemain banteng menghampirinya dan pura-pura menyeruduk. Dika pun menantang balik dengan pose kungfu. Mereka seperti berduel sebentar.
Saat pertunjukan selesai, panitia memanggil Dika dan memakaikan topeng banteng kecil. Dika senang bukan main. Ia melompat-lompat sambil berteriak, “Aku banteng pemberani!”
Di rumah, ia tak henti bercerita, “Bantengan itu seru, lucu, dan bikin senang. Tapi juga bikin aku pengen belajar gerakannya biar bisa tampil juga nanti.”
Pesan Moral:
Melalui mata anak-anak, kita diajak melihat bahwa warisan budaya bukan hanya tontonan mistis, tapi juga ruang bermain, pembelajaran, dan benih kecintaan pada tradisi sejak dini.