Cerita 7: "Di Balik Topeng Banteng"
Yoga datang ke desa Wonosari bukan sebagai turis, tapi sebagai peneliti muda. Ia sedang menyusun tugas akhir tentang "Ritual dan Transendensi dalam Kesenian Rakyat." Temannya bilang, “Kalau mau yang autentik, tonton Bantengan malam Jumat Kliwon.”
Saat tiba di lokasi, suasananya seperti masuk ke dunia lain. Kabut tipis menyelimuti lapangan. Aroma kemenyan dan bunga melati menusuk hidung. Penonton duduk bersila, khusyuk seperti hendak sembahyang.
Begitu gamelan berbunyi, para penari banteng bermunculan. Mereka menunduk, menggeliat, menghentak. Di tengah pertunjukan, satu pemain remaja kerasukan. Ia berteriak, melompat, bahkan menari dengan mata terpejam. Yoga mencatat cepat-cepat… lalu terdiam.
Karena… saat matanya bertemu mata si “banteng,” tubuhnya bergetar. Ada getaran aneh, seperti tersentuh sesuatu yang tak kasatmata. Ia merasa kecil. Seakan-akan banteng itu tak hanya karakter, tapi cermin dirinya sendiri.
Setelah pertunjukan, ia diberi kesempatan menyentuh topeng banteng. Saat jari-jarinya menyentuh kayu yang dingin dan lembap oleh peluh, Yoga berkata dalam hati, “Ini bukan sekadar seni. Ini ziarah.”
Beberapa minggu kemudian, dosennya membaca tulisannya dengan kagum. “Kamu tak hanya menulis, kamu mengalami,” ucapnya.
Pesan Moral:
Seni tradisi bukan sekadar tontonan. Ia adalah jembatan antara tubuh dan jiwa, dunia nyata dan tak kasatmata. Kadang, yang terlihat liar di luar justru menyimpan kedalaman makna di dalam.