2025/04/24

Cerita 6: "Tarian di Balik Ketakutanku"

Naya awalnya enggan ikut kegiatan sekolah ke desa tetangga untuk menonton pertunjukan Bantengan. Ia takut dengan cerita-cerita horor yang beredar—kerasukan, suara-suara gaib, dan tempat angker. Tapi sebagai pengurus OSIS, ia tak bisa menolak.

Sore itu, rombongan tiba di lapangan yang dikelilingi pepohonan. Langit mulai gelap, angin semilir membawa bau dupa. Naya sudah merasa merinding. Ia duduk agak jauh dari arena, mendekap tas erat-erat.

Gamelan mulai berbunyi. Beberapa pria dengan topeng banteng bermunculan. Gerakan mereka lambat dan teratur, lalu berubah cepat dan liar. Penonton bersorak, sementara Naya makin menunduk.

Tiba-tiba, salah satu pemain menghampiri penonton dan menanduk tanah di dekatnya. Naya spontan menjerit kecil dan berdiri. Tapi pemain itu hanya berputar lalu kembali ke tengah arena. Beberapa orang tertawa kecil. Wajah Naya memerah.

Namun… saat ia kembali duduk dan memandang arena dengan lebih tenang, ia justru mulai terpukau. Gerakan para penari banteng sangat ekspresif. Irama musik seperti berbicara. Ada kekuatan, kemarahan, tapi juga keindahan.

Setelah pertunjukan, Naya mencari tahu lebih banyak. Ia bertanya pada panitia, mencatat simbol-simbol mistik, dan menulis semuanya di jurnal sekolah.

Hari Senin berikutnya, ia tampil di depan kelas dengan semangat: “Kesenian Bantengan mengajarkan kita tentang kekuatan, pengendalian emosi, dan makna spiritual dalam budaya Jawa.”

Pesan Moral:

Kadang, rasa takut hanyalah jendela awal dari kekaguman. Jangan tutup pintu hanya karena bayang-bayang. Budaya bisa mengubah ketakutan menjadi pelajaran hidup yang mendalam.

Postingan Terkait