2025/04/22

Cerita 5: "Banteng dan Luka yang Tak Terucap"

 Pak Ranu datang ke pertunjukan Bantengan malam itu bukan karena ingin, tapi karena anak semata wayangnya, Raka, yang merengek minta ikut. Sejak istrinya meninggal dua tahun lalu, Pak Ranu tak lagi tertarik pada keramaian, apalagi kesenian.

Tapi malam itu berbeda. Mereka duduk di baris paling belakang. Gamelan mulai berbunyi, para pemain memasuki arena, dan seekor “banteng” besar mulai menari, menggeliat, lalu menghentak dengan gagah.


Tiba-tiba, seorang pemain muda terlihat kerasukan. Ia meraung, menunduk, dan menanduk tanah seperti benar-benar seekor banteng liar. Penonton terdiam. Pak Ranu menegang. Entah kenapa, tubuhnya bergetar.


Gerakan sang “banteng” semakin liar, lalu perlahan melambat. Musik berhenti. Si pemain roboh ke tanah. Seorang sesepuh mendekat, lalu memeluknya dengan penuh kasih. Di tengah sepi, terdengar isakan tertahan.


Pak Ranu terdiam. Ada yang mengalir dari matanya. Entah kenapa ia merasa dilihat. Diterima. Seolah luka-luka batinnya dipahami oleh irama dan gerak banteng tadi. Ia menggenggam tangan Raka erat-erat.


“Pak… tadi bantengnya sedih, ya?” tanya Raka polos.


Pak Ranu mengangguk pelan. “Kadang kita juga kayak banteng. Marah, bingung, capek. Tapi tetap jalan terus,” bisiknya.


Sejak malam itu, Pak Ranu jadi sering mengajak Raka ke pertunjukan tradisional lain. Ia mulai membuka hati, menyadari bahwa budaya bisa menyembuhkan.


Pesan Moral:

Dalam denting gamelan dan gerak tradisi, kadang tersimpan ruang sunyi untuk menyembuhkan luka batin. Budaya tak sekadar tontonan, tapi pelukan jiwa.






Postingan Terkait