2025/04/20

Cerita 3: "Amarah di Tengah Gamelan"

Lela sedang mudik ke kampung neneknya di kaki Gunung Kawi. Sudah lama ia tak pulang. Malam itu, warga berkumpul di lapangan desa untuk menyaksikan pertunjukan Bantengan.


Awalnya Lela sangat antusias. Ia suka budaya dan sedang menulis esai kampus tentang kesenian lokal. Tapi malam itu, semangatnya berubah menjadi ngeri—dan kemudian, marah.


Saat pertunjukan mencapai puncaknya, dua penari tampak benar-benar kerasukan. Mereka menanduk dan menggeram. Penonton bersorak, menganggap itu bagian dari pertunjukan.


Tiba-tiba, salah satu pemain menyeruduk ke arah anak kecil di pinggir panggung. Anak itu menangis ketakutan. Panitia sempat lengah. Lela, yang duduk di dekatnya, segera menarik anak itu menjauh.


Namun yang membuatnya marah adalah sekelompok remaja laki-laki yang malah menertawakan kejadian itu. Mereka mengolok-ngolok si anak dan menirukan gaya penari kerasukan dengan suara kasar.


“Astaga, ini bukan lucu! Ini serius,” bentak Lela. Suaranya membuat beberapa orang tersentak.


Usai pertunjukan, Lela bicara pada panitia, menyarankan agar keamanan ditingkatkan dan edukasi pada penonton diperjelas. “Ini bukan tontonan biasa. Ada batas antara hiburan dan penghormatan,” ujarnya tegas.


Pesan Moral:

Seni dan tradisi bukan sekadar hiburan, tapi ruang suci yang perlu dihormati. Sikap acuh dan olok-olok bisa mengaburkan nilai luhur yang hendak diwariskan budaya.






Postingan Terkait