2025/06/01

Cerita 30: "Gerak dalam Diam"

 Ningsih duduk di kursi roda, tangannya menggenggam erat tas kecil yang dibawanya. Sejak lahir, ia tidak bisa mendengar. Namun malam itu, ia datang ke lapangan desa bersama adik perempuannya untuk menonton pertunjukan Bantengan.

Ia tak bisa menangkap dentuman kendang, lengkingan suling, atau raungan sang Banteng. Tapi ia bisa merasakan getaran. Dari tanah, dari udara, dari gerakan tubuh para pemain. Setiap hentakan membuat hatinya berdegup.


Matanya terpaku saat sang Banteng menari liar, pemainnya bergerak seakan diliputi kekuatan tak kasat mata. Meskipun tanpa suara, Ningsih bisa melihat cerita. Ia membaca gerak, merasakan irama dalam tarian, dan menangkap aura sakral yang menyelimuti panggung tanah itu.

Di momen tertentu, seekor pemain Bantengan mendekat ke arah penonton, lalu diam di depan Ningsih. Sang pemain menunduk, lalu menjentikkan jari ke arah dada, lalu menunjuk ke langit—sebuah simbol penghormatan. Air mata mengalir di pipi Ningsih. Ia merasa diakui, dihargai, dan dilibatkan dalam dunia yang selama ini terasa jauh.


Usai pertunjukan, sesepuh desa menghampirinya. “Bantengan bukan hanya suara atau tarian. Ia adalah jiwa. Dan jenengan pun bisa merasakannya, karena jenengan juga punya jiwa.”

Ningsih pulang dengan hati penuh. Ia tahu bahwa kekurangan bukan penghalang untuk menikmati seni. Di dunia yang kadang terlalu bising, ia justru menemukan kedamaian dalam diam.


Pesan Moral:

Seni adalah bahasa universal. Ia melampaui suara, bentuk, bahkan batas fisik. Setiap jiwa berhak untuk merasa terhubung dan dihargai.


Postingan Terkait